![]() |
Ilustrasi |
Dijelaskan dalam kitab Min Ushul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah karya Syaikh Shalih al Fauzan hafidzahullah, "Bahwa diantara prinsip aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila mereka memerintahkan berbuat maksiat di kala itu kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya". Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu."(QS. An-Nisa : 59)
Jika kita perhatikan dalam ayat ini, Allah menjadikan
ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan
Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh
"Ati'u" taatilah !!! karena ketaatan kepada pemimpin merupakan taabi'
(ikutan) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Artinya taat kepada Allah dan Rasulnya adalah hal yang Mutlaq (wajib
ditaati), adapun taat kepada pemerintah bukan hal yang mutlaq, sehingga ketika
pemerintah kita mengajak atau memerintahkan pada jalan kemaksiatan maka kita
tidak wajib metaatinya. Namun kita tidak boleh memberotaknya, atau
megkudetannya dan kita wajib taat pada perkara mubah (yang dibolehkan) lainnya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam
perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).
Lalu ada sebuah pertanyaan, “Bagaimana jika pemerintah kita
tidak dipilih secara syariat islam dan sistem hukum serta pemerintahan kita
tidak berjalan diatas syariat Islam ?”
Maka kita katakan, jika pemerintah kita dipilih dengan cara islam seperti Pemilu atau tidak menggunakan cara yang telah diterapkan oleh Rasul dan para sahabatnya yaitu ; dengan jalan musyawarah seperti Abu Bakar dipilih untuk menggantikan Rasulullah, atau pemimpin sebelumnya menunjuk langsung penggantinya seperti Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab. Atau dalam menjalankan pemerintahannya dia tidak menggunakan syariat Islam sebagai asasnya. Maka kita tetap wajib mentaatinya.
Dalil akan hal ini adalah Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan tirmidzi. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa
kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang
memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At
Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)
Kita tahu bahwa syarat menjadi pemimpin dalam islam harus beragama
Islam dan Merdeka (bukan budak), namun jika salah satu dari sayarat tersebut tidak terpenuhi maka kita tetap wajib mentaatinya. Misalnya ; Seorang
budak terpilih menjadi pemimpin (ulil amri) kita tetap wajib untuk mentaatinya,
sekalipun ia tidak memenuhi syarat (Merdeka). Demikian juga
sama halnya jika terjadi seorang non muslim terpilih menjadi pemimpin, Nauzubillah min dzalik kitapun
wajib mentaatinya selama tidak dalam hal kemaksiatan. Demikian apa yang disabdakan
oleh Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mentaati
pemimpin (pemerintah) memiliki kemaslahatan yang sangat besar.
Dan ketauhilah bahwa bermaksiat (menentang) kepada seorang
pemimpin yang muslim merupakan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim,
مَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى الأَمِيْرَ
فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barangsiapa yang taat kepada pemimpin (yang muslim) maka dia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amir maka dia maksiat kepadaku".
Dan bermaksiat kepada Rasul sama dengan
bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Allah ta’ala berfirman,
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ
ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka."(QS. An Nisa: 80)
Sehingga haram hukumnya memberontak/ mengkudeta/ mendemo
terhadap pimpinan kaum muslimin, sekalipun pemimpin tersebut melakukan hal yang
menyimpang seperti melakukan kedzolima. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya taat kepada
mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka
kekafiran yang jelas, sekalipun kita di dzolimi.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى
أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak
mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam
amal).
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ
Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang
hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Kemudian para sahabat bertanya,
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, apa yang harus
aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Lalu apa jawaban dari Rasulullah, apakah beliau
memerintahkan untuk memberontak ? Mengkudeta ? Mendemo ? Tidak.
Perhatikan jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ
مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka
menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada
mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul
Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)
Bahkan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun
321H) berkata dalam kitab beliau, Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah,
وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا
“Dan kami (ahlus sunnah) tidak berpendapat (bolehnya) keluar
(memberontak) dari pemimpin dan penguasa kami (yaitu kaum muslimin)”.
Ini adalah salah satu prinsip aqidah ahlus sunnah yang wajib
bagi kita untuk berpegang teguh padanya. Maka bersabarlah kepada pemimpin kita
dalam hal ini pemerintah, taatilah demi menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya. Yakinlah bahwa dibalik perintah Allah dan Rasul-Nya pasti ada kebaikan yang
banyak, dan dibalik larangan Allah pasti ada keburukan yang besar. Sejarah
telah membuktikan, Perhatikan negara-negara yang rakyatnya melakukan kudeta
kepada pemerintah akibat ketidak sabarannya terhadap pemerintah, apa yang
terjadi pada negara tersebut "Apakah kemudian negara itu menjadi lebih
baik sebut saja; Libiya, mesir, suria ? Jawabannya TIDAK bahkan timbul pada nya
keburukan-keburukan yang lebih besar, pertumpahan darah, kemiskinan, kerusakan,
dan lain semisalnya.
Lalu apa yang harus kita perbuat, tatakala kita menyaksikan kedzoliman pada pemimpin kita ? Yang pertama adalah nasihati ia secara sembunyi-sembunyi lalu kemudian yang kedua do'akan kebaikan untuknya. Coba tanyakan dalam hati kita “Apakah dengan mencaci pemimpin kita ia akan berubah menjadi lebih baik ???” jawabannya tentu Tidak justru itu akan menambah dosa kita karena mencacinya, menggunjingnya. Lalu pertanyaanya selanjutnya “jika kita mendoakan kebaikan padanya (pemerintah), apakah pemimpin kita bisa berubah ?” Jawabannya; “Bisa, karena Allah yang menggenggam, dan membolak balikkan hati manusia.” Maka doakan pemerintah kita jika kita melihat ada hal yang tidak baik pada dirinya, ketauhilah bahwa tidak ada manusia yang sempurna termasuk saya dan anda.
Imam
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah berkata,
لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة
لصرفتها للسلطان
“Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab
(yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.”
Semoga Allah menjaga negeri yang kita cintai ini dan senantiasa
mengaruniai negeri ini pemimpin yang shalih.
Penulis: Abdul Aziz Jaisyi
0 comments:
Post a Comment